“Sebagai penderita gagal ginjal, saya harus banyak sabar. Kadang mual, muntah, lemas, belum lagi kalau habis cuci darah badan terasa sangat capek,tapi saya tahu ini satu-satunya jalan untuk bisa bertahan hidup, yaitu tekun berobat,” kata Katarina.
KUPANG, MEDIASI NTT.COM – Perjuangan menjalani kehidupan sebagai pasien hemodialisis tidaklah mudah, karena pasien harus menjalani cuci darah secara rutin dua kali dalam seminggu, tentu akan menguras tenaga dan emosi pasien dengan riwayat gagal ginjal kronis.
Iklan Google AdSense
Seperti dialami Katarina Mau (56), seorang pensiunan PNS yang harus menerima kenyataan bahwa penyakit hipertensi yang ia abaikan selama bertahun-tahun berujung pada komplikasi yang merusak fungsi ginjalnya.
“Dulu saya tidak begitu peduli pada tekanan darah saya, karena sibuk dengan pekerjaan dan merasa tubuh masih baik-baik saja. Tapi ternyata tekanan darah tinggi itu pelan-pelan merusak ginjal saya, dan baru terasa ketika sudah terlambat,” ujar Katarina.
Gejala awal yang ia alami memang tidak terlalu mengganggu. Hanya kelelahan ringan, pusing, dan kadang-kadang bengkak di kaki.
Namun, karena tidak segera ditangani, perlahan fungsi ginjalnya menurun drastis.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, dokter menyarankan agar Katarina mulai menjalani terapi hemodialisis secara berkala.
“Waktu itu saya sempat dirawat di salah satu rumah sakit selain ini, tapi karena peralatannya belum begitu memadai,lalu saya dirujuk ke rumah sakit yang bisa menangani pasien hemodialisis. Di situlah saya mulai proses cuci darah saya,” jelasnya.
Sejak saat itu, hidup Katarina berubah total. Ia harus menyesuaikan rutinitasnya dengan jadwal cuci darah.
Ia juga harus mematuhi berbagai pantangan makanan, membatasi asupan cairan, dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar tetap bisa menjalani proses dialisis dengan baik.
“Sebagai penderita gagal ginjal, saya harus banyak sabar. Kadang mual, muntah, lemas, belum lagi kalau habis cuci darah badan terasa sangat capek.
Tapi saya tahu ini satu-satunya jalan untuk bisa bertahan hidup, yaitu tekun berobat,” kata Katarina.
Dengan frekuensi cuci darah yang cukup tinggi, biaya pengobatan Katarina sebenarnya bisa sangat besar dan memberatkan. Namun, ia sangat bersyukur karena seluruh proses pengobatannya dijamin oleh Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Hal ini membuatnya tetap dapat menjalani terapi tanpa harus terbebani secara finansial.
“Kalau harus bayar sendiri, saya mungkin sudah menyerah. Tapi karena ada BPJS Kesehatan, saya bisa cuci darah secara rutin dan tetap bisa mencukupi kebutuhan lain. Saya tidak pernah diminta bayar sepeserpun untuk tindakan medis,” tutur Katarina.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan Program JKN tidak hanya membantu dari sisi finansial, tetapi juga memberi ketenangan batin. Ada perasaan aman yang ia rasakan karena tahu ada sistem yang menjamin haknya sebagai pasien untuk mendapatkan perawatan terbaik. Rasa tenang ini yang membuatnya tetap kuat menghadapi hari-hari berat.
“Setiap saya datang ke ruang hemodialisis, saya lihat wajah-wajah yang sama. Mereka juga pasien JKN, dan kami seperti saling menguatkan. Ini bukan cuma tentang biaya, tapi tentang rasa aman dan dukungan. Begitu juga dengan tenaga kesehatan yang sudah dengan tulus merawat kami semua. Para perawat dan dokter yang dengan sabar melayani, bahkan di tengah banyaknya pasien,” katanya.
Katarina juga berharap kisahnya menjadi pelajaran bagi banyak orang agar tidak menyepelekan gejala ringan dan rutin memeriksa kondisi kesehatannya.
“Kalau boleh memberi pesan, saya hanya ingin bilang agar jangan abaikan kesehatan. Berobat itu menguras banyak tenaga, belum lagi rasa cemas dan lelah yang terus datang silih berganti. Kalau bisa memanfaatkan fitur skrining Riwayat kesehatan pada Aplikasi Mobile JKN untuk memantau kesehatan, maka gunakanlah. Karena sehat adalah nikmat yang paling mahal,” tutup Katarina mengakhiri ceritanya.(fr/ok/beny)
Iklan Bersponsor Google






