Oleh Wilhelmina Sao,Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Iklan Google AdSense
BEBERAPA – tahun terakhir, linimasa media dipenuhi wajah-wajah yang tampak sempurna, selalu produktif, dan nyaris tanpa celah. Menariknya, sebagian dari figur populer tersebut ternyata tidak pernah benar-benar hidup.
Mereka adalah AI influencer, personal virtual yang dirancang oleh algoritma, dikelola oleh industri teknologi, dan diperlakukan layaknya selebritas manusia. Fenomena ini menandai perubahan penting dalam budaya media digital ketika popularitas, kepercayaan, dan kedekatan emosional tidak lagi bergantung pada pengalaman manusia, melainkan pada desain visual dan kecanggihan sistem.
Dalam konteks masyarakat postmodern, kehadiran AI influencer tidak bisa dipahami sekadar sebagai inovasi teknologi atau strategi pemasaran baru.
Ia adalah gejala budaya yang menunjukan bagaimana media kini tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi aktif menciptakan realitas alternatif yang lebih rapi, lebih indah, dan lebih mudah dikendalikan. Melalui lensa pemikiran Jean Baudrillard, Stuart Hall, dan Antonio Gramsci, artikel ini mengulas AI influencer kapatalisme digital kontemporer.
Simulakra dan Hiperrealitas (Jean Baudrillard)
Menurut Jean Baudrillard, simulakran adalah tiruan yang tidak lagi memiliki acuan realitas asli.
AI influencer merupakan contoh paling ekstrem simulakral, karena figur ini tidak pernah memiliki tubuh, pengalaman hidup, atau relasi sosial yang nyata. Namun demikian, kehadiran justru terasa lebih “sempurna” dibanding manusia sungguhan. Inilah kondisi hiperrealitas, ketika yang palsu tampil lebih meyakinkan, lebih menarik dan lebih diinginkan daripada yang nyata.
Audiens berinteraksi secara emosional dengan sosok yang sepenuhnya merupakan produk algoritma, data, dan desain visual.
Contoh global yang sering dibahas adalah Lin Miquela, AI influencer asal Amerika Serikat yang memiliki jutaan pengikut di Instagram dan bekerja sama dengan merek-merek besar seperti Prada dan Calvin Klein.
Meskipun identitasnya sejak awal diketahui sebagai karakter virtual, Lil Miquela tetap diperlakukan layaknya selebritas manusia diwawancarai media, memiliki persona sosial, bahkan terlibat dalam narasi aktivisme. Contoh lain adalah Imma, AI model asal Jepang dengan visual hiper-realistis yang kerap tampil dalam kampanye fashion dan budaya pop.
Kedua figur ini menunjukkan bagaimana simulakra tidak lagi berada di pinggiran, melainkan menjadi pusat industri budaya.
Di konteks Indonesia, fenomena serupa mulai muncul melalui karakter virtual, avatar brand, hingga AI host atau talent digital yang digunakan dalam promosi produk dan konten media sosial.
Meskipun belum sepenuhnya sepopuler figur global, kehadiran AI persona lokal menandai arah baru industri kreatif digital, di mana kehadiran manusia perlahan dapat digantikan oleh representasi algoritmik.
Representasi dan Produksi Makna (Stuart Hall) Dalam perspektif Stuart Hall, media bekerja melalui proses representasi dan produksi makna. IA influencer direpresentasikan sebagai figur ideal: cantik atau tampan, selalu produktif, tidak bermasalah, dan bebas dari kontroversi moral. Melalui proses encoding, produsen konten dan brand menyisipkan makna tertentu, seperti citra kesempurnaan, efisiensi, dan kontrol penuh atas persona publik.
Khalayak kemudian melakukan decoding atas representasi ini. Sebagian menerima secara dominan dengan mengagumi dan mengikuti AI influencer, sementara sebagian lain bersikap negosiasi atau oposisi dengan mempertanyakan etika, keaslian, dan dampaknya terhadap manusia nyata.
Hegemoni dan Kuasa Media (Antonio Gramsci) Fenomena AI influencer juga dapat dipahami melalui konsep hegemoni Antonio Gramsci. Media dan industri teknologi membangun persetujuan publik (consent) terhadap gagasan bahwa influencer tidak harus manusia.
Nilai-nilai efisiensi, profitabilitas, dan estetika digital dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar dan tak terelakkan.
Dalam konteks ini, AI influencer berfungsi sebagai alat ideologis yang memperkuat dominasi kapitalisme digital, di mana tubuh manusia dianggap tidak lagi ideal karena dianggap rapuh, tidak konsisten, dan sulit dikontrol.
Budaya Massa dan Kritik Teori Kritis
Dari sudut pandang Mazhab Frankfurt, kehadiran AI influencer menandai tahap lanjut dari industrialisasi budaya.
Jika sebelumnya selebgram manusia masih membawa jejak pengalaman personal, emosi, dan ketidaksempurnaan, maka AI influencer sepenuhnya bersih dari risiko tersebut. Mereka tidak lelah, tidak menua, tidak bermasalah secara moral, dan tidak dapat melawan sistem yang menciptakannya.
Dalam logika industri budaya, kondisi ini sangat menguntungkan karena seluruh aspek identitas dapat diproduksi, direplikasi, dan dikontrol secara penuh. Akibatnya, budaya populer bergerak menuju homogenisasi citra, di mana kreativitas dan keunikan manusia perlahan digantikan oleh standar visual dan narasi yang aman secara komersial.
AI Ifluencer vs. Manusia: Sebuah Perbandingan Kritis Berbeda dengan selebgram manusia yang masih memiliki tubuh biologis, pengalaman hidup, dan kemungkinan resistensi, AI influencer hadir sebagai figur tanpa sejarah personal dan tanpa risiko sosial.
Selebgram manusia dapat menuai kontroversi, melakukan kesalahan, atau menyuarakan sikap politik yang berseberangan dengan brand. Sebaliknya, AI influencer sepenuhnya patuh pada kepentingan pemilik teknologi dan kapital. Dalam konteks ini, AI influencer bukan sekadar evolusi teknologi, melainkan simbol pergeseran kuasa dari manusia sebagai subjek budaya menuju algoritma sebagai produsen makna. Publik diajak mengagumi citra yang steril, terkendali, dan hiper-ideal, sementara realitas manusia yang kompleks, rapuh, dan kontradiktif justru semakin tersingkir dari ruang representasi.
Kesimpulan
Kehadiran AI influencer seharusnya tidak hanya dipahami sebagai kemajuan teknologi atau strategi pemasaran digital semata, tetapi sebagai tanda perubahan mendasar dalam cara media membentuk realitas sosial.
Dalam masyarakat postmodern, figur tanpa tubuh ini memperlihatkan bagaimana citra, tanda, dan algoritma dapat menggantikan pengalaman manusia yang nyata. Ketika publik semakin terbiasa berinteraksi dengan persona virtual yang sempurna dan terkendali, ada risiko bahwa keaslian, ketidaksempurnaan, dan kompleksitas manusia justru dianggap sebagai gangguan, karena itu, tantangan utama masyarakat hari ini bukanlah menolak teknologi, melainkan mengembangkan kesadaran kritis terhadap cara kerja media dan kekuasaan di baliknya. Literasi media menjadi penting agar publik mampu membaca siapa yang diuntungkan, nilai apa yang dinormalisasi, dan realitas mana yang secara perlahan disingkirkan. Tanpa sikap kritis tersebut, masyarakat berpotensi tenggelam dalam hiperrealitas buatan algoritma itu sebuah dunia yang tampak indah, efisien, dan meyakinkan, tetapi semakin jauh dari pengalaman manusia yang autentik.
Referensi
Astuti, I. D. (2023). Reality and hyper reality behind the kidfluencer phenomenon. Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi, 14(2), 251–266.
Christin, M., Baskoro, M. L., & Hidayat, D. (2024). Navigating hyperreality: Transmedia storytelling and virtual influencers in digital public relations. Jurnal Komunikasi, 16(2), 395–406.
Azzahra, J., & Christin, M. (2025). Hiperealitas virtual influencer Lentari Pagi di Instagram. Jurnal Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 9(1), 65–78.
Iklan Bersponsor Google






